Kala Takbir Bersenandung Cinta
 26  Desember 2004 adalah tanggal terjadinya sebuah peristiwa yang tak dapat  sirna dalam hati seluruh warga Kota Banda Aceh. TSUNAMI. Peristiwa itu  telah tergores di hati mereka. Dan untuk menghilangkan goresan itu,  tidak dapat hanya dengan menggangap sebagai angin yang telah berlalu.  Dari sekian banyaknya manusia yang jatuh sebagai korban. Hanya beberapa  yang selamat dari bencana itu. Salah satunya adalah Akbar dan Aisha  sepasang Kakak beradik yang selamat dari bencana air bah yang dahsyat  itu. Saat itu Akbar sedang menjalani studinya di Univeritas Unsyiah  Banda Aceh jurusan Akutansi. Sedangkan Aisha Sang Adik adalah pelajar  kelas satu SMP. Ketika bencana itu terjadi, mereka terpisah dari kedua  Orang tuanya demi menyelamatkan diri.
26  Desember 2004 adalah tanggal terjadinya sebuah peristiwa yang tak dapat  sirna dalam hati seluruh warga Kota Banda Aceh. TSUNAMI. Peristiwa itu  telah tergores di hati mereka. Dan untuk menghilangkan goresan itu,  tidak dapat hanya dengan menggangap sebagai angin yang telah berlalu.  Dari sekian banyaknya manusia yang jatuh sebagai korban. Hanya beberapa  yang selamat dari bencana itu. Salah satunya adalah Akbar dan Aisha  sepasang Kakak beradik yang selamat dari bencana air bah yang dahsyat  itu. Saat itu Akbar sedang menjalani studinya di Univeritas Unsyiah  Banda Aceh jurusan Akutansi. Sedangkan Aisha Sang Adik adalah pelajar  kelas satu SMP. Ketika bencana itu terjadi, mereka terpisah dari kedua  Orang tuanya demi menyelamatkan diri. 
Pada  mulanya Aisha merasa ada suatu hal yang janggal pada hari itu. Aisha  Sang Adik terlihat terus menerus gelisah. Akbar, Kakak kandung Aisha  merasa heran melihat sikap Adiknya. Tak biasanya ia melihat Sang Adik  diam terus menerus dan bisu seribu bahasa. Ternyata, tanpa ia sadari  sikap Adiknya yang ia sayangi itu merupakan sebuah tanda akan terjadi  sebuah Bencana besar di hari itu. Sebuah Gelombang Laut yang tinggi  masuk ke Kota dan memporak-porandakan seisi Kota. Mengetahui itu Akbar  dan Aisha segera berlari menyelamatkan diri. Karena waktu hanya sedikit.  Dengan berat hati dan linangan air mata. Akbar dan Aisha berlari  menyelamatkan diri, tanpa memberitahu kedua Orang Tua yang sangat ia  sayangi.
Akbar terus berlari sekencang-kencangnya. Segala sesuatu  yang ada di depannya tampak ia acuhkan saja. Orang-orang yang sedang  berlari dan berjalan di depannya ia tabrak saja. Kedua kakinya sangat  lincah berlari. Tangan kanannya terus menggengam tangan seorang remaja  putri berjilbab hitam dan mengenakan baju panjang merah yang tak lain  adalah Aisha. Aisha yang sedang ia pegang tangan kanannya tampak  kesulitan berlari. Sering kali Aisha menghela nafas panjang.
Sesekali  Akbar mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia terus melihat  pemandangan yang menyedihkan. Pemandangan menyedihkan itu terus terjadi  silih berganti. Puluhan kendaraan saling bertabrakan satu sama lain.  Kecelakaan itu merupakan kecelakaan beruntun. Mereka berdua terus  berlari sangat kencang. Seluruh tenaga mereka kerahkan. Sering kali  mereka menghela nafas yang dalam berulang-ulang. Peluh keringat  bercucuran tetes demi tetes.
“ Aisha. Kamu harus bisa tetap  berlari. Gelombang sudah semakin dekat. Kamu harus bisa Aisha. “ Ia  mensupport Aisha yang ia genggam tangannya sambil menunjuk gelombang  laut tinggi yang siap mengejar mereka berdua.
“ Tapi Kak, aku tidak kuat lagi. “
“ Aisha, kamu harus kuat! “
“ Tapi Kak, aku lelah “ Ia sedikit mengiba.
“  Kak Akbar aku tak tahan berlari lagi. Biarkan tinggalkan aku saja di  sini. Kakak berlari saja. “ Aisha perempuan yang ia genggam tangannya  mengeluh.
“ Aisha aku akan berdosa apabila tidak dapat menyelamatkan  diriku. Dan engkau akan berdosa andaikan engkau tidak menyelamatkan  nyawamu. Kamu hanya menjadi sampah seperti orang yang membunuh dirinya  sendiri. “
Aisha menundukkan kepalanya. Hatinya tergerak. Ia  segera bangkit dan kembali berlari menyelamatkan diri. Aisha tampak  letih setelah berlari jauh. Jilbab panjangnya berkelebat diterpa angin  kencang. Kakinya yang dibalut dengan kaus kaki putih polos sudah tampak  pincang. Dan kaus kakinya telah kotor bebercak coklat.
Selama berlari  mereka berdua terus bertasbih dan bertakbir. Kalimat agung dan suci  terus terlontar dari bibir mereka. Mereka berdua sangat panik. Rasa  takut dan cemas bergejolak di dalam diri mereka. Tiba-tiba sebuah Truk  besar berwarna kuning hendak melintas di depan mereka. Akbar segera  melepas genggaman Aisha dan segera menghentikan mobil Truk Kuning itu.  Truk itu seketika berhenti. Akbar segera menuju bangku supir.
“ Pak bisakah kami menumpang mobil Bapak? “
Seorang lelaki besar berkulit hitam dibangku supir terdiam.
“ Pak saya mohon “ Akbar mengiba.
“ Dik, Truk kami tidak memiliki banyak bangku “
“ Apakah di bak belakang tidak bisa? Saya mohon Pak “
“ Baiklah tapi hanya satu orang saja yang boleh ikut karena di bak belakang sudah penuh dengan barang “
“ Baiklah “
Akbar segera menyuruh Aisha naik.
“ Kak aku tidak mau “
“ Kenapa? “
“  Aku hanya mau dengan kakak “        “ Aisha kakak mohon. Naiklah. Jika  kita berdua selamat, Insya Allah kita akan dapat bertemu kembali. Dan  apabila tidak. Percayalah. Insya Allah Kita akan digolongkan sebagai  Syuhada, berperang demi menyelamatkan nyawa sendiri “
Aisha  menitikkan air matanya. Ia mematung di dalam bak Truk yang besar itu.  Tanpa aba-aba dan sebuah isyarat Truk itu perlahan bergerak dan semakin  lama semakin kencang. Aisha melambaikan tangan kanannya kepada Sang  Kakak tercinta. Air mata tak dapat ia bendung. Air mata itu tumpah  membanjiri kedua pipinya yang halus dan putih. Setelah memastikan Truk  itu berjalan cukup jauh. Akbar kembali berlari menyelamatkan dirinya.
****
Hari  telah sore. Langit telah melepas jubah birunya. Dan memulai merajut  warna jingga. Matahari mulai merangkak ke ufuk Barat. Waktu akan  berganti. Pemandangan menyedihkan terlihat di seluruh Kota. Rasa sedih  masih menyelimuti seluruh warganya. Tumpahan air mata terjadi di  mana-mana. Masjid besar Baiturrahman yang berada di Pusat Kota Banda  Aceh itu tampak dikerumuni ribuan manusia. Waktu Ashar tiba. Adzan  berkumandang dari seluruh penjuru masjid. Mendengar suara Adzan itu, ia  kembali tak kuasa membendung air matanya. Aliran air mata membekas di  pipinya. Ia tidak tahu akan keberadaan sang Kakak tercinta. Yang telah  berhasil menyelamatkan nyawanya.
Tanpa Aisha sadari. Sang Kakak  tercinta selamat dari bahaya Tsunami yang sangat ganas itu. Dan sekarang  Kakak tercintanya itu berada di tempat yang sama dengan Aisha. Akbar  yang telah lama di Masjid itu segera menuju ke ruang wudhu. Ia segera  mensucikan dirinya, untuk bersembah diri kepada sang Pencipta. Ia  berjalan menembus ribuan orang yang memadati jalan menuju ruang wudhu.  Dan subhanallah. Dalam rentak langkahnya untuk mensucikan diri. Ia  melihat sosok Sang Adik di hadapannya. Dan spontan saja.
“ Aisha. Engkaukah itu? “ sebuah kalimat singkat dan padat terlontar dari bibirnya.
Sang  Adik yang berdiri di hadapan Kakaknya itu hanya menganggukkan sedikit  kepalanya yang berada di dalam balutan jilbab hitam panjangnya. Semula  ia hanya diam. Dan perlahan dari bibirnya, sebuah senyum kecil lahir  dengan jelas. Ia segera berlari menuju tempat sang Kakak berdiri. Dengan  erat ia memeluk Kakaknya.
Setelah berjuang dengan keras  menyelamatkan diri, berperang dengan waktu. Akhirnya mereka berdua dapat  kembali bertemu dan bersama kembali. Suara Adzan yang berkumandang dari  seluruh penjuru Masjid akhirnya mempertemukan mereka berdua. Sebuah  Alunan Takbir Cinta dengan halusnya mempertemukan Seorang Kakak dengan  Adik tercintanya yang semula terpisah. 
 
0 comments: