Konversi Mangrove Memiskinkan Masyarakat
Kebun sawit ini berada di balik hutan mangrove yang kini tersisa hanya setebal 1 meter di Langkat, Sumatera Utara. Foto diambil, Rabu (9/11/2011).
Gabungan sembilan LSM menolak konversi mangrove atau kawasan hutan bakau menjadi perkebunan kelapa sawit di sepanjang pantai timur Sumatera Utara atau tepatnya di Kabupaten Langkat, Sumut.
Pernyataan sikap LSM yang diterima di Jakarta, Jumat (20/1/2012), menyebutkan, hutan mangrove yang berada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tanjung Balai dan DAS Sei Babalan, Kabupaten Langkat, merupakan kawasan hutan lindung dengan luas sekitar 30.506 hektare.
Selain itu, kawasan tersebut dinilai merupakan tempat pemijahan benih ikan dan biota hutan laut mangrove yang juga memberikan pendapatan alternatif bagi nelayan. Dalam satu bulan, kawasan mangrove itu bisa menghasilkan hingga sekitar 50 - 60 liter madu.
Sejak tahun 2006 kawasan hutan mangrove yang dirambah dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 16.446 hektar. Perubahan fungsi itu dilakukan oleh tiga perusahaan perkebunan sawit. Aktivitas perambahan itu terus berlangsung karena diduga didukung oleh sejumlah oknum.
Aktivitas perambahan itu telah merugikan negara hingga 160 miliar serta memiskinkan masyarakat yang berada di enam desa yaitu Desa Perlis, Klantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua, Kelurahan Barandan Barat dan Kelulahan Sei Bilah.
Dampak negatif lainnya dari aktivitas perambahan perkebunan tersebut adalah hilangnya mata pencaharian nelayan akibat ditutupnya 30 lebih paluh atau anak sungai (paluh Burung Lembu, Terusan Habalan, Napal dan Tanggung) dengan diameter 3-4 meter.
Paluh itu sendiri merupakan sumber penghidupan, di mana nelayan-nelayan bubu, ambai, belat, jaring menggantungkan hidupnya, serta biasa menjadi tempat berkembangnya ikan-ikan seperti ikan kakap, ikan merah, ikan kerapu, dan ikan senangin.
Untuk itu, gabungan LSM itu menuntut antara lain agar Gubernur Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Provinsi, dan Polda Sumatera Utara menindak perusahaan yang telah menyengsarakan nelayan dan merugikan nelayan.
Selain itu, LSM juga mendesak agar beberapa perusahaan itu untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah dirubah fungsinya dan membuka kembali paluh/anak sungai yang telah ditutup akibat dari pengkonversian ekosistem mangrove.
Berbagai LSM itu antara lain adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), LBH Medan, Gerakan Mahasiswa Intelektual Langkat (Gemilang), dan Green Student Movement (GSM).
Pernyataan sikap LSM yang diterima di Jakarta, Jumat (20/1/2012), menyebutkan, hutan mangrove yang berada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tanjung Balai dan DAS Sei Babalan, Kabupaten Langkat, merupakan kawasan hutan lindung dengan luas sekitar 30.506 hektare.
Selain itu, kawasan tersebut dinilai merupakan tempat pemijahan benih ikan dan biota hutan laut mangrove yang juga memberikan pendapatan alternatif bagi nelayan. Dalam satu bulan, kawasan mangrove itu bisa menghasilkan hingga sekitar 50 - 60 liter madu.
Sejak tahun 2006 kawasan hutan mangrove yang dirambah dan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 16.446 hektar. Perubahan fungsi itu dilakukan oleh tiga perusahaan perkebunan sawit. Aktivitas perambahan itu terus berlangsung karena diduga didukung oleh sejumlah oknum.
Aktivitas perambahan itu telah merugikan negara hingga 160 miliar serta memiskinkan masyarakat yang berada di enam desa yaitu Desa Perlis, Klantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua, Kelurahan Barandan Barat dan Kelulahan Sei Bilah.
Dampak negatif lainnya dari aktivitas perambahan perkebunan tersebut adalah hilangnya mata pencaharian nelayan akibat ditutupnya 30 lebih paluh atau anak sungai (paluh Burung Lembu, Terusan Habalan, Napal dan Tanggung) dengan diameter 3-4 meter.
Paluh itu sendiri merupakan sumber penghidupan, di mana nelayan-nelayan bubu, ambai, belat, jaring menggantungkan hidupnya, serta biasa menjadi tempat berkembangnya ikan-ikan seperti ikan kakap, ikan merah, ikan kerapu, dan ikan senangin.
Untuk itu, gabungan LSM itu menuntut antara lain agar Gubernur Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Provinsi, dan Polda Sumatera Utara menindak perusahaan yang telah menyengsarakan nelayan dan merugikan nelayan.
Selain itu, LSM juga mendesak agar beberapa perusahaan itu untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah dirubah fungsinya dan membuka kembali paluh/anak sungai yang telah ditutup akibat dari pengkonversian ekosistem mangrove.
Berbagai LSM itu antara lain adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), LBH Medan, Gerakan Mahasiswa Intelektual Langkat (Gemilang), dan Green Student Movement (GSM).
0 comments: